Mas, pokoknya LPJ harus dibuat Nol! Kalau kamu mau ngeyel, gak mau
ikut sistem, ya sudah, gak usah minta anggaran!
Kalimat tersebut tentu tidak
asing bagi para aktivis organisasi mahasiswa (ormawa) yang biasa mengurus
berbagai macam proposal pengajuan anggaran ke kampus. Setelah kegiatan
terlaksana, tentu harus ada pertanggungjawaban penggunaan anggaran. Nah, di
sini ada sebuah fenomena menarik, dimana manipulasi sudah menjadi rahasia umum.
Manipulasi? Ya, dimana laporan
keuangan harus dibuat sisa nol, entah bagaimana caranya. Walhasil manipulasi, gothak gathik gathuk pun dilakukan.
Pembuatan nota palsu sudah menjadi pekerjaan biasa. Yang semakin miris, tidak
pernah ada, atau mungkin belum ada yang berusaha menggugat sistem sampah
tersebut. Kedua belah pihak, yakni mahasiswa sebagai pengaju dan birokrat
sebagai pelayan sama-sama menikmati kebiasaan ini dengan enjoy, seakan tanpa ada sebuah kekeliruan. Birokrat menikmati
karena mereka tak harus dipusingkan lagi dengan sisa anggaran. Sedangkan
mahasiswa turut tenggelam dalam arus, pikirnya lumayan, sisa anggaran bisa
dipakai untuk tambahan kas lembaga, atau celakanya lagi untuk tambah-tambah
uang saku pribadi.
Dengan alasan sistem yang sudah
mapan, mereka
selalu membenarkan tindakan tersebut. Ya, mengutuki sistem tanpa berusaha
memperbaikinya. Sangat miris jika mengingat fenomena ini terjadi di instansi
pendidikan tinggi, di atmosfer intelektual yang sangat kental. Jika golongan
terpelajarnya saja sikapnya semacam ini, kepada siapa lagi bangsa ini akan
berharap? Padahal seorang terpelajar seharusnya jujur sudah sejak dalam
pikiran.
Tindakan semacam ini tidak ada
bedanya dengan apa yang dilakukan oleh para koruptor. Ya, koruptor yang sering
mereka kutuk dan setan-setankan. Ternyata jika sudah dihadapkan uang merekapun sama,
melacurkan diri kepadanya. Menikmati ketersesatanpun dipilih, tak ada prinsip
apalagi idealisme.
Fenomena ini
merupakan satu indikator sederhana gagalnya visi utama kampus yang sudah
bertahun-tahun menjadi slogan, ‘takwa’. Takwa secara umum dimaknai dengan
menjalankan perintah Tuhan, dan menjauhi segala larangan-Nya. Kita tentu paham
benar, manipulasi meruppakan tindakan bohong, dan tidak ada agama manapun yang
membenarkan kebohongan. Miris memang, padahal para petinggi kampus selalu
mengklaim keberhasilan mereka, mengumumkan di mana saja kalau visi yang diusung
dapat dicapai dengan gemilang. Jika hal-hal mendasar seperti itu saja masih
luput dari perhatian mereka, apakah pantas mereka mengklaim berhasil membentuk
pribadi-pribadi civitas akademika kampus yang bertakwa? Anda dapat menjawabnya
sendiri.
Jika budaya
seperti ini tetap dipertahankan, saya yakin korupsi tidak akan pernah lenyap
dari kehidupan kita sampai kapanpun. Sebab setiap generasi akan turut
berkontribusi melanggengkan kebiasaan tak sehat ini. Munafik namanya jika kita
mengutuk koruptor dan perbuatannya, tapi kita saja masih suka korupsi. Jumlahnya
mungkin tak seberapa, tapi perlu kita sadari, korupsi itu bukan perkara jumlah,
tapi sikap dan karakter. Jumlah kecil karena yang ada hanya sedikit, kalau yang
tersedia besar pasti lain cerita.
Saya
berharap semua ini akan menjadi refleksi kita bersama. Selama ini kita sangat
jarang melakukan instropeksi dan evaluasi ke dalam. Kita sangat jarang bercermin,
tapi terlalu banyak melihat dan berkomentar perkara-perkara besar yang jauh.
Walhasil hal-hal sederhana yang dekat sering luput. Perlu saya pikir mahasiswa
mulai menggugat sistem LPJ yang harus di-nolkan tadi, bukan malah menikmati,
tenggelam dalam arus tak sehat. Sekali lagi, jika kaum terpelajarnya saja sudah
rusak, kepada siapa lagi bangsa ini akan berharap? Kepada kampus, saya mohon
jangan kau rusak generasi-generasi kita. Tugasmu adalah menjadikan mereka
manusia yang kaffah, bukan manusia
setengah anjing.
Tabik.
Yogya, 18
Mei 2017
Komentar
Posting Komentar